Sabtu, 26 Desember 2015

Cerpen : masalalu, aku akan pergi


Bagaimana bisa seseorang begitu mencintai pasangan yang selalu mampu membuatmu menangis?

Sepertinya dulu aku juga pernah merasakan hal yang serupa. Ketika cinta tiba-tiba datang menjadi sebuah perangkap. Meski akhirnya kau diam-diam melukis sebuah luka yang samar. Tampak kasat mata bagiku. Hingga airmata, tiba-tiba saja luruh tanpa alasan. Aku terlambat melepasmu. Kubiarkan kamu berlama-lama berada didalam hatiku. Aku tak pernah memilah, aku menganggap pedih itu sebagai bahagia dan ketidak setiaan itu kuanggap sebagai suatu rintangan sepele. Meski ternyata aku salah menilai. Aku pun tak mampu mencari logika, saat cinta benar-benar membuatnya lumpuh.

Mungkin! Mungkin sebuah andai membiarkan kita sejenak kembali ke masa lalu. Harapan dari sebuah hati yang telah rusak. Lalu satu demi satu memory yang harusnya rapuh meledakkan hatiku menjadi sebuah kepingan yang mustahil untuk disatukan. Kamu membuat bahagia tampak terlalu jauh. Sedangkan langkah kaki kita, sudah tak lagi sanggup untuk merangkak. Bukankah tujuan kita terlalu jauh? Lalu mengapa aku masih ingin meraihnya denganmu. Lalu mengacuhkan ribuan sosok yang mungkin lebih baik darimu. Aku tahu, aku terlalu naïf untukmu. Aku selalu berpura-pura mati rasa saat sikapmu melukaiku. Aku masih saja tersenyum.

Ucapkan saja bahwa aku bodoh. Aku terus saja berusaha menarikmu dari bayang masalalu, memaksamu berjalan denganku kearah masa depan. Aku mengambil resiko untuk menyusun cerita yang buruk lagi untuk kita.

“Apa yang salah dengan masa lalu? Aku yakin dia masih memiliki masa depan yang sama!”

Selalu kata itu yang kuucapkan, saat banyak orang lain bertanya “tidakkah kamu ingin berhenti mencintai masalalu-mu?” dan tak ada lagi jawaban yang pantas kuucap. Aku tetap membiarkanmu memasuki hari-hariku. Aku ingin mencintaimu, seperti udara yang tak pernah selesai kau hirup. Namun kisah kita seperti nyanyian-nyanyian bisu, tak pernah terdengar indahnya.

Biarkan saja! Biarkan saja luka-luka ini berdiri diantara kita, katamu. Menghalangiku untuk menyentuhmu. Aku mencintaimu selalu dengan sederhana. Sesederhana airmata yang luruh, atau sesederhana genggaman jemari yang terlepas perlahan. Sepertinya aku tak ingat, sejak kapan cintamu menjadi sebuah duri tajam. Kau hunus hatiku dengan tajam. Hingga tangisku pun tak pernah lagi terdengar ditelingamu. Tidakkah kamu merasakan? Jemariku masih mengusap lembut hatimu dengan tangisku. Kamu tak lagi menjadi payung disegala mendung.

Aku masih ingat tentang sebuah cerita masalalu kita. Saat aku menangis, bahkan pikiran tidak memberiku ruang untuk melepas beban sejenak saja. Kamu disampingku, terduduk diam. Kamu tidak pernah berusaha untuk bertanya keluhku. Ataupun mengayunkan jemarimu untuk mengusap butiran airmata yang turun dengan tegas. Hingga airmata itu memberi bekas yang nyata pada wajahku. Ingin aku bertanya tentang perhatianmu, tapi aku tidak pernah siap untuk terluka lebih dalam. Aku tahu, aku mungkin akan kecewa dengan jawabanmu.

Atau kenangan mana lagi yang kau ingat? Akankah kamu masih mengingat saat kamu mulai menyusun cerita pedih dihadapanku dengan mengeratkan genggaman dengan perempuan lain. Aku mengikutimu dibalik punggung gagahmu. Seperti makhluk halus yang tak pernah kau sadari hadirku. Aku tak bisa melakukan apa-apa lagi. Selain menangisimu disana, lalu memaafkanmu tanpa kau minta.

Kemudian, cinta mana lagi yang kau dustakan? Saat yang lain meninggalkanmu. Aku masih bertahan disampingmu tanpa perlu kamu meminta. Aku membantumu memapah tumpukan beban itu. Meski kamu tak pernah melakukan hal yang sama denganku. Aku tak mengungkitnya.

Saat luka enggan untuk pergi, aku mempertahankanmu. Dengan sedikit saja harapan untukmu berubah. Hanya saja aku lupa, aku tidak akan pernah bisa merubah hati. Ada sentuhmu yang masih aku ingat. Namun kisah-kisah itu hanya menjadi daftar pustaka dari kisah kita berdua. Karena punggungmu terus saja berjalan menjauhiku. Masih pantaskah hubungan ini disebut dengan milik kita? Karena kita tak lagi bersebelahan dan tak lagi bergandengan tangan. Sudah siapkah kamu kehilanganku? Atau apakah aku seharusnya bertanya “pernahkah kamu merasakan hadirku? Seseorang yang tak pernah utuh bagimu.”

Pernahkah kamu berusaha menghitung? Berapa kali hubungan ini hampir saja kandas tanpa alasan? Kamu tak akan pernah bisa menghitungnya. Karena kau mudah meretakkan hatiku dengan sebuah kata singkat. Dan aku mulai lelah menangis. Saat itu aku belajar untuk merelakan dirimu pergi.

Aku mulai berhenti menulis rindu tentangmu dan aku belajar berhenti merajut cinta untukmu. Aku harus menghapus satu persatu agenda yang biasa kita lakukan bersama. Aku rasa perpisahan menjadi sebuah rancangan yang sudah dekat. Bayang kita, sudah terlalu jauh dari kebahagiaan. Sepertinya epilog indah hanyalah sebuah angan yang tak patut dijalankan. Karena kamu pun sepertinya sudah lebih dulu melakukan hal yang sama sepertiku sekarang. Benar-benar tak ada jalan lain lagi untuk bersama. Kita adalah sebuah cangkir yang sudah siap untuk pecah.

Dan malam ini, terakhir kalinya kita menikmati dingin berdua. Karena esok tak akan lagi menyambut kita. Matahari sudah siap membakar habis seluruh kisah kita. Sebuah kisah yang kau bilang tak pernah sempurna. Sepertinya kamu lupa, tak ada kisah yang sempurna jika kamu terus saja menulisnya sendiri. Kamu tetap membutuhkan pasangan untuk membuatnya lengkap. Namun pasangan itu siap kau lepas. Aku juga tak ingin lagi menulis kisah ditelapak tanganmu. Tulisan masa depan yang tak pernah kau eja. Malam ini tak lagi manis, meski bintang mengerling seolah mengajak kita berdansa dibawah malam. Kita menjadi ampas kopi pahit yang tak perlu disesap. Tak ada lagi yang perlu diungkapkan, bukan?

Biarkan, kataku! Biarkan kisah kita berlalu dalam batu nisan di perkuburan kenangan yang tak pernah perlu untuk kita kunjungi lagi. Kamu masalalu, aku masalalu. Mungkin aku tak bisa lagi menarikmu ke masa depan bersamaku. Tapi aku akan membiarkanmu berdiri disini. Aku akan pergi, dengan ciuman yang sebentar dibibirmu. Aku yakin itulah yang paling terakhir. Karena ketika kakiku mulai melangkah maju, aku tak akan menoleh kembali kearahmu. Biarkan masa lalu kita hangus, menjadi abu yang terbang diterpa angin. Dan hilang……








Untuk masalalu, aku akan benar-benar pergi sekarang.

Terima kasih untuk semua luka yang kamu ukir seindah mungkin.





......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar